Selasa, 18 Desember 2012
0 komentar

Review novel Mayasmara by AK Muzaka

22.13

Review novel Mayasmara by AK Muzaka


Mayasmara, novel berkah keberlimpahan teknologi dan dunia "maya". Mayana dan Nero, mereka dua sosok yang tidak pernah benar-benar mengetahui satu sama lain. mereka berkenalan lewat kata-kata yang berlepasan. saling menindih, bertatap, bersi

tubuk, dan berkelindan: memaksa mereka berdua untuk terus meyakini bahwa itu bukanlah dunia yang sama sekali tidak pernah ada. atawa, bisa dikatakan dunia itu adalah dunia imajinasi yang tak pernah terkatakan sebelumnya. mereka membangunnya dengan harapan-harapan dan kehendak untuk bisa berdialog dengan "orang lain": yakni orang yang sama sekali tidak diketahui karakteristik sebenarnya. meski, klaim "mengetahui" perihal orang yang sudah gamblang di hadapan mata telanjang belum tentu memberikan jaminan bahwa itu merupakan cerminan yang asali. ah, berkah teknologi memang sering membawa impian dan imajinasi menembus batas-batas yang banal. andaikan, andaikan sekali, berkah teknologi, yang seringkali disebut maya ini, tidak mewujud di antara pilihan hidup Mayana dan Nero mereka tak mungkin melakukan persinggungan yang cukup jauh. tentang kehidupan dan cinta.

mereka juga dipertemukan dengan kecenderungan yang sama: bahwa kepercayaan terhadap kata-kata yang mampu menyihir membuat mereka sama-sama menaklukkan diri untuk mengontrol ego. ego akan ketidakmengertian terhadap seseorang yang sesungguhnya. itu mungkin mirip dengan naluri meraba yang, mungkin, sudah lama tertanam kuat dalam benak mereka. meraba yang tak bisa diraba dengan sesungguh-sungguhnya. ya, mereka meraba ketidakmungkinan. dan, lagi-lagi, mereka mestinya berterima kasih terhadap berkah teknologi yang membuat mereka bisa--seolah bersatu--dan mengetahui satu sama lain.

pada suatu jeda, dan inilah letak ketidakmungkinan itu terlihat menganga, yakni di saat Nero tiba-tiba menghilang. apa yang bisa dilakukan Mayana kecuali menunggu? ya, dia hanya bisa menunggu. sambil meremas-remas kecemasan yang tidak berujung hingga kecemasan itu rontok dan diganti dengan harapan-harapan yang baru: suatu yang pasti menjadi niscaya dalam kehidupan siapa pun.

ya, jika kita menilik sejarah dunia maya, kita pernah dihebohkan dengan, misalnya akun yang mendukung Bibit-Candra atau Koin untuk Prita. kita terhenyak, dan seolah hendak membantah bahwa dunia maya adalah bukan dunia maya an sich. ia adalah semacam dunia imajinasi, yang mungkin hanya bisa dipahami oleh mereka yang sudah terbiasa hidup, bergumul, dan bernafas di dalamnya. saya jadi teringat dengan ulasan yang ditulis Don Tapscott (Grow Up Digital--saya membacanya sambil lalu, karena berbentuk pdf). tapi, intinya, setiap generasi memiliki adab-kehidupannya sendiri-sendiri. orang di zaman 70-an tidak bisa sepenuhnya memahami pola pikir orang 90-an. begitu pula seterusnya hingga kini. apalagi, keberkahan teknologi maya ini kian massif dan merajalela. dan kecenderungan itu diadaptasi dengan sewenang-wenang oleh tiap kepala. semua individu mulai merencakana apapun yang bisa mereka kerjakan dengan/di dalam dunia maya. termasuk apa yang sudah dilakukan Mayana dan Nero untuk "bercakap-cakap" dalam ketidakjelasan, meskipun itu menumbuhkan banyak perkara; kepercayaan, kekaguman, dan yang tak bisa dielakkan yaitu cinta.

 
Toggle Footer
Top